Januari 10, 2011

Wanita Pertama Yang Masuk Surga

SUATU ketika Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW bertanya kepada ayahandanya, “Ayahanda, siapakah wanita pertama yang akan masuk surga ?”

Rasulullah SAW menjawab : “Seorang wanita yang bernama Mutiah.”

Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rasulullah sendiri. Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapakah gerangan wanita itu? Apa yang dilakukannya sampai ia mendapat kemuliaan yang begitu tinggi hingga menjadi wanita pertama yang masuk surga? Fatimah sangat ingin tahu. Fatimah segera meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, untuk mengunjungi wanita bernama Mutiah ini.

Setelah mendapat ijin dari suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Mutiah. Anak yang masih kecil, yang bernama Hasan diajaknya. Sesampainya di rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu seraya member salam, “Assalamu alaikum …”

“Wa’alaikum salam! Siapa di luar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

“Saya Fatimah, putri Rasulullah.”

“Alhamdulillah, alangkah bahagianya saya hari ini menerima kunjungan putri Rasulullah yang mulia”, terdengar kembali suara dari dalam. Suara itu terdengar cerah dan semakin mendekati pintu.

“ Apakah Anda sendirian, Fatimah?”, seraya membukakan pintu.

“Aku ditemani Hasan.”“Aduh, maaf ya Fatimah”, kata Mutiah, suaranya terdengar menyesal. “Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”

“Tetapi Hasan kan masih kecil,” jawab Fatimah.

“Biarpun masih kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Datanglah besok. Saya akan meminta izin dulu kepada suami saya,” kata Mutiah dengan menyesal. Fatimah heran bukan main, ia kemudia pamit pulang.

Keesokan harinya, Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah, kali ini ditemani Hasan dan Husain, anak keduanya. Setelah member salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Mutiah bertanya : “Anda masih ditemani Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”

“Ya, juga ditemani oleh Husain,” jawab Fatimah.

“Oh, maaf Fatimah. Saya hanya mendapat izin untuk menerima tamu Hasan. Saya belum meminta izin untuk menerima Husain. Kemarin Anda tidak bilang akan datang bersama Husain. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga,” dengan perasaan menyesal, Mutiah kali ini juga menolak. Hari itu Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan Mutiah. Dan baru keesokan harinya dia bisa memasuki rumah itu bersama Hasan dan Husain, kedua anak kembarnya. Mereka disambut baik oleh perempuan itu di rumahnya.

Keadaan rumah itu sangat sederhana, tak ada satu pun perabot yang mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di dalamnya.

Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tidak begitu betah berada di rumah orang, kali ini sangat betah dan Nampak asyik bermain-main.

“Maaf, saya tidak bisa menemani Anda duduk dengan tenang, Fatimah. Saya harus menyiapkan makanan untuk suami saya,” kata Mutiah sambil mondar mandir dari ruang tamu ke dapur. Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudia ditaruh di atas nampan. Mutiah juga mengambil cambuk, yang juga di taruh di atas nampan. “Saya akan mengantar makanan kepada suami saya yang sedang bekerja,” kata Mutiah’. “Maaf, saya tidak bisa menemani Anda."

Fatimah melihat cambuk di atas nampan itu. Seperti cambuk gembala kambing.“Suamimu bekerja dimana? tanya Fatimah.

“Di ladang,” jawab Mutiah.

“Apa suamimu seorang gembala?” tanya Fatimah.

“Bukan. Suami saya petani.”

“Tapi, mengapa kamu bawakan cambuk?”

“Oh, itu?” sahut Mutiah sambil tersenyum. “Cambuk ini kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, selagisuami saya makan, saya akan bertanya apa makanan itu cocok dengan seleranya. Kalau dia bilangtidak, saya minta dia mencambuk punggung saya. Itu sebagai hukuman bagi istri yang tidak bisa menyenangkan hati suaminya.”

“Apakah itu kehendak suamimu? Suamimu orang kejam yang suka menyiksa istri?” tanya Fatimah keheranan.

“Oh, bukan! Sama sekali bukan. Suami saya adalah seorang yang penuh kasih saying. Sayalah yang meminta dia mencambuk punggung saya kalau makanan ini tidak cocok dengan seleranya. Itu saya lakukan agar saya tidak menjadi istri yang durhaka kepada suami.”

Mendengar penjelasan itu, Fatimah kagum bukan main kepada Mutiah. Kemudian ia pamit pulang.

“Pantas kalau Mutiah kelak menjadi seorang wanita yang pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati. “Apa yang dilakukannya merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan seorang istri kepada suaminya. Mutiah sangat berbakti kepada suaminya. “

Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar: